Perceraian Hindu Menurut Ajaran Hindu dan Hukum Indonesia

Perceraian Dalam Ajaran Hindu

Pada dasarnya Agama Hindu menentang terjadinya perceraian, namun demikian berbagai situasi potensi berakhirnya perkawinan seringkali tidak bisa dihindarkan. Justru jika perkawinan dilanjutkan akan menambah dosa dari pasangan karena tidak ada harmoni untuk mencapai tujuan perkawinan yakni kebahagian lahir bathin.

Untuk menempuh perceraian terdapat beberapa cara umum yang bisa dilakukan:

  1. Menyampaikan permasalahan dengan banjar adat sesuai dengan awig-awig atau pararem setempat;
  2. Melakukan upacara Mapegat Sot dengan mengelilingi Bale Agung;
  3. Dilanjutkan dengan permohonan cerai pada pengadilan negeri y
  4. ang berwenang;
  5. Menyampaikan Salinan putusan cerai dan akte cerai kepada prajuru banjar atau desa prakaman.

Setelah perceraian kemungkinan untuk rujuk masih bisa dilaksanakan, dan jika hal tersebut terjadi maka harus ditempuh upacara perkawinan seperti semula. Setelah terjadi perceraian maka Pihak pradana kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara di keluarga asal.

Status Hak Asuh Anak dan Harta Gunakaya pada Perceraian Pasangan Hindu

Anak yang masih kecil karena pertimbangan tumbuh kembang anak dapat diasuh oleh ibu. Faktor psikologis anak harus sangat diperhatikan terutama dalam tumbuh kembangnya masih sangat tergantung dari pengasuhan ibu. Walau hak asuh anak terutama anak yang masih dibawah umur berada pada ibunya namun hubungan pasidikaran anak tersebut tetap pada keluarga purusa. Terkait biaya-biaya yang diperlukan oleh anak maka diperoleh melalui ayahnya sebagai pihak purusa.

Selanjutnya terkait harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan)  maka masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya dengan prinsip pedum pada (bagi sama rata). Dalam prakteknya prinsip ini harus melihat aspek-aspek administrasi agar tidak terjadi kesulitan dalam pengurusan harta masing-masing pihak, utama bisa dilakukan melalui kesepakatan pembagian harta atau agar lebih menjamin melalui putusan pengadilan. Hal ini perlu diperhatikan karena jika tidak tertib maka akan terjadi sengketa panjang terkait harta yang dipenuhi ketidakpastian atas aset perkawinan.

Perceraian Pasangan Hindu dalam Hukum Nasional Indonesia

Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Hindu tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:

  • Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:

  • Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
  • Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.