Perceraian Budha Menurut Ajaran Agama Budha dan Hukum Indonesia
Perceraian Dalam Ajaran Budha
Alkisah sebagaimana disampaikan dalam Sutta pada masa Budha Gotama terjadi perceraian antara Ugga dengan istrinya. Ugga adalah seorang upasaka yang senang berderma dengan barang-barang yang bagus dan berkualitas. Ugga berkeyakinan siapa yang berderma dengan yang terbaik akan mendapat yang terbaik pula, sehingga ia tidak segan membeli barang bagus untuk didermakan.
Ugga memiliki empat istri, dimana pada saat itu bukan sesuatu yang janggal seorang lelaki dari berbagai kalangan berpolygami. Awalnya hidup rukun, namun setelah menemui pencerahan Buddha, kehidupan Ugga mulai berubah. Karena Ugga mencapai tataran Anagami, dengan tingkat kesucian yang telah berhasil menghancurkan dan membelenggu hawa nafsu. Sehingga keinginan syahwatnya lenyap sehingga jika dilanjutkan perkawinan akan membawa kesengsaraan kepada para istri.
Ugga kemudian mendatangi para istri lalu menyatakan tidak bisa hidup bersama lagi dan mengizinkan semuanya untuk menikah lagi. Satu per satu istrinya menikah, dengan kebaikan Ugga memberi modal untuk pernikahan istrinya dengan suami barunya, tentunya merupakan kebaikan untuk melihat mantan istrinya berbahagia walau harus dengan suami baru mereka.
Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa Budha mendukung perceraian, perceraian harus dipandang upaya terakhir setelah berbagai cara dilakukan untuk mempertahankan perkawinan. Dalam Sutta disampaikan cara untuk mempertahankan jodoh supaya awet, seperti yang dimuat dalam percakapan pasangan Nakulapita dan Nakulamata dengan Budha, diantaranya Budha menyampaikan:
“Perumah tangga, jika suami dan istri ingin tidak terpisah selama kehidupan ini masih berlangsung dan di dalam kehidupan yang akan datang juga, harus memiliki keyakinan yang sama, moralitas yang sama, kedermawanan yang sama, kebijaksanaan yang sama, dengan demikian mereka tidak akan berpisah selama kehidupan ini masih berlangsung dan di dalam kehidupan mendatang juga.”
(Aṅguttara Nikāya V, 55)
Ada dharma dalam perkawinan, maka ada dharma juga dalam perceraian sebagaimana dicontoh Ugga yang menanamkan itu pada mantan istrinya. Hal ini tentu agar kiranya ketika terjadi perceraian maka karma tersebut dilanjutkan dengan kebaikan, sehingga mengubah karma menjadi kebaikan. Rasa sakit dalam perceraian adalah peluang untuk mempraktekkan apa yang diajarkan Budha, bahwa rasa sakit adalah bagian yang tidak dapat dihindari dari dunia, dan penderitaan adalah reaksi yang tidak dapat dihindarkan. Penderitaan berhubungan dengan menolak kenyataan yang dihadapi, karena itu akan lebih baik untuk mengembalikan keseimbangan dengan membiarkan segala sesuatu berjalan dengan lebih baik untuk kita, pasangan dan anak-anak.
Perceraian bagian dari Anicca, yaitu kebenaran akan ketidakkekalan. Maka yakinlah bahwa semua pengalaman terus berubah, dan kita merupakan perbaikan-perbaikan. Penderitaan perceraian akan berubah karena prinsip Anicca tersebut. Perasaan menderita, sakit dan tidak nyaman akan berubah.
Disinilah pentingnya Anicca itu dilakukan dengan baik, didalamnya termasuk memperbaiki tujuan perceraian bukan untuk memperpanjang penderitaan dan membalaskan pada pasangan apalagi anak, justru untuk memperbaiki situasi. Anicca yang bertanggungjawab ini diantaranya penting untuk mengikuti prosedur dan aturan hukum agar jelas pertanggungjawaban. Negara memiliki dharma dalam bentuk perangkat aturan hukum yang dibuat untuk melindungi warganya dalam berbagai situasi termasuk manakala terjadi perceraian.
Perceraian Pasangan Budha dalam Hukum Nasional Indonesia
Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Budha tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:
- Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:
- Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
- Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
- Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.
Hak Asuh Anak dalam Perceraian Budha
Menjadi mahfum manakala terjadi perceraian maka pasangan berpisah, lantas anak ikut dengan siapa. Ajaran Budha tidak memberikan detail kepada siapa anak diberikan manakala terjadi perceraian. Namun yang penting adalah tetap tegaknya prinsip sebagaimana disampaikan dalam Sigalovada Sutta, Dīgha Nikāya yakni: orang tua mempunyai kewajiban mencegah anak berbuat jahat, menganjurkan anak berbuat baik, memberikan Pendidikan yang sesuai kepada anak, mencarikan pasangan yang sesuai dengan anak, menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat. Prinsip ini harus ditegakkan karena jangan sampai anak menjadi korban yang berkelanjutan dari perceraian, setelah anak harus menerima kenyataan orang tuanya bercerai, maka kemudian anak tidak terurus bahkan kehilangan kasih sayang dan kebajikan dari kedua orang tua atau salah satu orang tuanya.
Demikian pula hukum negara kita mengatur dimana prinsip-prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama seperti sebelum perkawinan orang tuanya berakhir. Prinsip ini disampaikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Demikian pula disampaikan dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan dengan tegas dapat disimpulkan walaupun perkawinan orang tua sudah berakhir kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya terus berlaku sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.
Hak asuh anak dapat diperoleh melalui putusan pengadilan. Walaupun sudah terjadi kesepakatan diantara orang tua maka tetap penting hak asuh anak diputuskan melalui pengadilan. Dalam praktek jika hak asuh anak tidak diputuskan melalui pengadilan akan terdapat kesulitan dalam penegakan hukum terkait hak-hak anak termasuk beberapa kepengurusan administrasi anak seperti pengurusan Kartu Keluarga, Passport dan dalam beberapa kasus dalam administrasi sekolah.
Hak asuh anak dibawah umur biasanya jatuh pada ibunya sebagaimana telah diputuskan dalam berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung. Selain pada ibunya, maka ayah kandung dapat memperoleh hak asuh. Hal tersebut disebutkan dalam SEMA No 1 Tahun 2017 yang menyatakan:
Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perseraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan / keinginan si anak pada saat proses perceraian.
Perlu diperhatikan, karena situasi ini sering sekali diabaikan termasuk oleh para advokat yang harusnya mengerti, bahwa hak asuh tidak menghalangi sedikit pun hak dan kewajiban pasangan yang tidak mendapatkan hak asuh untuk terus menjalankan kewajibannya dan haknya terhadap anak. Butuh kematangan yang luar biasa dari kedua orang tua yang sudah terpisah, karena praktek hak asuh ini seringkali menghalangi prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama walaupun perkawinan sudah berakhir. Dalam praktik seringkali anak dijadikan alat untuk menyakiti mantan pasangan dengan cara mantan pasangannya tersebut dibatasi bahkan dilarang bertemu dengan anaknya yang dicintainya. Secara psikologis situasi itu juga mengorbankan lansung Kesehatan mental anak. Sering dalam praktek kami harus menyarankan kebesaran jiwa orang tua demi mental anak.
Isu terkait hak asuh anak ini sangat sensitif dan bisa menjadi masalah yang tidak selesai dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan peran Advokat yang bukan saja profesional dan berpengalaman melainkan juga memiliki pemahaman dan itikad baik dalam memahami kepentingan anak. Banyak sekali orang tua termasuk advokat tidak memahami apa yang dimaksud hukum demi tumbuh berkembangnya anak.
Harta Gono Gini dalam Perceraian Budha
Agama Budha tidak mengatur tentang harta gono gini, tapi mengajarkan kebaikan dan tanggung jawab sebagaimana dicontohkan Ugga sebagaimana diceritakan dalam Sutta. Harta gono gini atau harta bersama menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan. Dikecualikan atas harta bersama ini adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah (hibah) atau warisan.
Dalam Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan maka harta perkawinan dibagi menjadi 3 (tiga) yakni:
- Harta Bawaan, yakni harta yang diperoleh sebelum perkawinan.
- Harta Warisan atau Hadiah.
- Harta Gono Gini atau Harta bersama.
Maka harta yang harus dibagi setelah perceraian itu adalah Harta Gono Gini, untuk itu yang berwenang membaginya adalah hakim melalui putusan pengadilan negeri bagi perkawinan yang tunduk pada Agama Budha.
Penting sekali harta gono gini memiliki kedudukan yang jelas setelah perceraian karena jika tidak jelas akan sangat menyulitkan bagi masing-masing pihak. Dalam pengalaman akan sulit melakukan penguasaan yang sah dan sederhana. Masing-masing pihak juga akan kesulitan secara administrasi untuk berhubungan dengan pihak lain baik untuk menjual, atau menjaminkan hartanya pada pihak bank. Pihak ketiga seperti pembeli dan perbankan akan memiliki kesulitan secara perdata dan hukum pertanahan terkait harta gono gini. Selain itu sering ditemukan masalah keperdataan harta gono gini ini berkembang menjadi masalah pidana terutama karena akhirnya salah satu pihak memenuhi unsuk pidana harta dalam perkawinan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.
Terkait masalah gono gini secara teknis persidangan akan memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu penting sekali untuk mempersiapkan sesuai dengan situasi yang berkembang. Untuk membantu Anda tidak bisa sembarangan pengacara dapat membantu Anda. Alih-alih Anda memperoleh harta gono gini malahan Anda kehilangan harta gono gini, hal ini sudah sangat sering terjadi dalam praktek. Pun ketika Anda memperoleh harta gono gini tapi Anda kehilangan banyak uang dan waktu lebih dari yang seharusnya hanya gara-gara kesalahan dan tidak efisiennya penanganan perkara. Dalam perkara harta gono gini seringkali Pengacara bertindak dengan tendesi kepentingannya sendiri.
