Hak asuh anak dan nafkah asuh anak seringkali diabaikan dan tidak menjadi diskusi yang serius manakala terjadi perceraian. Padahal kedua hal tersebut sangat penting baik jangka pendek ataupun jangka panjang.
Kedua hal ini diabaikan bukan saja oleh masyarakat tapi juga oleh kaum profesional seperti advokat sendiri yang tidak memahami hukum perkawinan dan strategi beracara dalam perceraian. Kedua hal penting ini diabaikan biasanya karena alasan tidak mau bertele-tele, makan waktu, takut pada pasangan dan lain-lain. Padahal implikasi dari pengabaian tersebut bisa menguras waktu, tenaga, pikiran, mental dan psikologis baik bagi kedua belah pihak termasuk anak-anak. Tidak jarang kami menemukan anak dan orang tua mengalami gangguan psikologis dari apa yang mereka abaikan dan dianggap enteng dari awal ini. Situasi rumit ini berkepanjangan, padahal sebelumnya bisa diselesaikan dalam jangka pendek.
Persepsi yang berkembang dimasyarakatpun sering kali salah, walau nampaknya bijak. Contoh seringkali anak dibagi dengan orang tuanya, biasanya anak laki-laki ikut bapaknya dan anak perempuan ikut ibunya. Sekilas hal tersebut bijak, padahal keputusan itu mengorbankan anak untuk keduakalinya. Setelah anak itu berpisah dengan salah satu orang tua, kemudian anak tersebut dipisahkan dari saudara kandungnya.
Persepsi masyarakat seringkali mengatakan bahwa pemegang hak asuh anak bertanggungjawab penuh atas perawatan, Pendidikan, Kesehatan termasuk tanggung jawab finansial. Padahal tidak demikian adanya.
Padahal dengan strategi materi hukum dan beracara di pengadilan yang tepat maka alasan-alasan pengabaian hal penting tersebut tidak akan terjadi. Kami sering mengedukasi calon klien dengan mengatakan dengan menginvestasikan waktu pendek maka kepentingan jangka pendek menengah dan panjang terselamatkan. Disini peran profesionalitas dan itikad baik advokat sangat penting. Seringkali perkara dan klien terjebak karena advokat tidak menguasai strategi dan teknis detail perkara hukum perceraian, atau memang advokat tidak cukup beritikad baik untuk menyelesaikan kasus jangka pendek demi keuntungan finansial. Kantor hukum kami tidak pernah memiliki perkara hukum keluarga lebih dari satu tahun. Rata-rata diselesaikan dalam jangka waktu 3 s/d 6 bulan.
Pada hakikatnya hak asuh anak adalah kewajiban kedua orang tuanya karena anak memiliki hak untuk diasuh dan dirawat oleh kedua orang tuanya. Hal ini selaras dengan Pasal 14 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas undang – undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :
Pasal 14
- Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
- Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
- bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;
- mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
- memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan
- memperoleh Hak Anak lainnya.
Berdasarkan hal tersebut kedua orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak – anaknya. Namun terlepas dari hal tersebut, hak Asuh dan Nafkah anak tetap bisa dimohonkan kepada Pengadilan setempat dengan asas kep-astian hukum.
PENGGABUNGAN HAK ASUH DAN NAFKAH ANAK DALAM GUGATAN CERAI
Istilah Cerai Gugat dan Cerai Talak pada prakteknya di Pengadilan Agama memiliki perbedaan yang signifikan, Cerai Gugat dilakukan oleh istri dan Cerai Talak diajukan oleh Suami. Pada dasarnya penggabungan Gugatan Hak Asuh Anak dan Nafkah Anak dapat digabungkan dalam Gugatan Cerai, hal ini selaras dengan Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989. Yang berbunyi :
- Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta Bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan Pasal tersebut, Hak Asuh dan Nafkah anak jelas dapat dikumulasikan dalam Gugatan Cerai. Namun pada umumnya Hak Asuh Anak dan Nafkah Anak sering dimohonkan oleh istri dalam Gugat Cerai, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan pihak suami atau pemohon pun dapat mengajukan hak asuh anaknya dalam Cerai Talak apabila Pihak istri terbukti lalai dalam mengasuh dan merawat anak dan atau telah memiliki pria lain.
Perihal Pemegang Kuasa Hak Asuh Anak apabila anak belum berumur 12 tahun adalah ibu kandungnya, namun apabila anak tersebut sudah berumur 12 tahun, maka anak dapat memilih siapa yang memegang hak asuh atas dirinya. Sementara di Pengadilan Negeri, tidak ada aturan yang jelas tentang siapa pemegang/kuasa hak asuh bagi anak yang belum dewasa, karena di Pengadilan Negeri tidak dikenal istilah mumayiz dan umur kedewasaan, ada yang menganggap sampai umur 18 tahun tapi ada juga hakim yang menganggap sampai berumur 21 tahun.
Tidak adanya amar putusan dan yurisprudensi yang melarang penggabungan gugatan Hak Asuh Anak dan Nafkah Anak dalam suatu kasus perceraian. Namun karena adanya asas dalam acara perdata asas hakim pasif dan asas ultra petita. sehingga apabila dalam petitum tidak dimohonkan oleh para pihak tentang hak asuh dan hak nafkah anak, maka hakim juga tidak bisa memberi amar putusannya dalam perceraian tersebut.
