Hak asuh anak dan nafkah asuh anak seringkali diabaikan dan tidak menjadi diskusi yang serius manakala terjadi perceraian. Padahal kedua hal tersebut sangat penting baik jangka pendek ataupun jangka panjang.

Kedua hal ini diabaikan bukan saja oleh masyarakat tapi juga oleh kaum profesional seperti advokat sendiri yang tidak memahami hukum perkawinan dan strategi beracara dalam perceraian. Kedua hal penting ini diabaikan biasanya karena alasan tidak mau bertele-tele, makan waktu, takut pada pasangan dan lain-lain. Padahal implikasi dari pengabaian tersebut bisa menguras waktu, tenaga, pikiran, mental dan psikologis baik bagi kedua belah pihak termasuk anak-anak. Tidak jarang kami menemukan anak dan orang tua mengalami gangguan psikologis dari apa yang mereka abaikan dan dianggap enteng dari awal ini. Situasi rumit ini berkepanjangan, padahal sebelumnya bisa diselesaikan dalam jangka pendek.

Persepsi yang berkembang dimasyarakatpun sering kali salah, walau nampaknya bijak. Contoh seringkali anak dibagi dengan orang tuanya, biasanya anak laki-laki ikut bapaknya dan anak perempuan ikut ibunya. Sekilas hal tersebut bijak, padahal keputusan itu mengorbankan anak untuk keduakalinya. Setelah anak itu berpisah dengan salah satu orang tua, kemudian anak tersebut dipisahkan dari saudara kandungnya.

Persepsi masyarakat seringkali mengatakan bahwa pemegang hak asuh anak bertanggungjawab penuh atas perawatan, Pendidikan, Kesehatan termasuk  tanggung jawab finansial. Padahal tidak demikian adanya.

Padahal dengan strategi materi hukum dan beracara di pengadilan yang tepat maka alasan-alasan pengabaian hal penting tersebut tidak akan terjadi. Kami sering mengedukasi calon klien dengan mengatakan dengan menginvestasikan waktu pendek maka kepentingan jangka pendek menengah dan panjang terselamatkan. Disini peran profesionalitas dan itikad baik advokat sangat penting. Seringkali perkara dan klien terjebak karena advokat tidak menguasai strategi dan teknis detail perkara hukum perceraian, atau memang advokat tidak cukup beritikad baik untuk menyelesaikan kasus jangka pendek demi keuntungan finansial. Kantor hukum kami tidak pernah memiliki perkara hukum keluarga lebih dari satu tahun. Rata-rata diselesaikan dalam jangka waktu 3 s/d 6 bulan. 

Pada hakikatnya hak asuh anak adalah kewajiban kedua orang tuanya karena anak memiliki hak untuk diasuh dan dirawat oleh kedua orang tuanya. Hal ini selaras dengan Pasal 14 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas undang – undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :

 Pasal 14 

  • Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
  • Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak: 
  • bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya; 
  • mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; 
  • memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan 
  • memperoleh Hak Anak lainnya. 

Berdasarkan hal tersebut kedua orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak – anaknya. Namun terlepas dari hal tersebut, hak Asuh dan Nafkah anak tetap bisa dimohonkan kepada Pengadilan setempat dengan asas kep-astian hukum.

PENGGABUNGAN HAK ASUH DAN NAFKAH ANAK DALAM GUGATAN CERAI

Istilah Cerai Gugat dan Cerai Talak pada prakteknya di Pengadilan Agama memiliki perbedaan yang signifikan, Cerai Gugat dilakukan oleh istri dan Cerai Talak diajukan oleh Suami. Pada dasarnya penggabungan Gugatan Hak Asuh Anak dan Nafkah Anak dapat digabungkan dalam Gugatan Cerai, hal ini selaras dengan Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989. Yang berbunyi : 

  • Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta Bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan Pasal tersebut, Hak Asuh dan Nafkah anak jelas dapat dikumulasikan dalam Gugatan Cerai. Namun pada umumnya Hak Asuh Anak dan Nafkah Anak sering dimohonkan oleh istri dalam Gugat Cerai, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan pihak suami atau pemohon pun dapat mengajukan hak asuh anaknya dalam Cerai Talak apabila Pihak istri terbukti lalai dalam mengasuh dan merawat anak dan atau telah memiliki pria lain.

Perihal Pemegang Kuasa Hak Asuh Anak apabila anak belum berumur 12 tahun adalah ibu kandungnya, namun apabila anak tersebut sudah berumur 12 tahun, maka anak dapat memilih siapa yang memegang hak asuh atas dirinya. Sementara di Pengadilan Negeri, tidak ada aturan yang jelas tentang siapa pemegang/kuasa hak asuh bagi anak yang belum dewasa, karena di Pengadilan Negeri tidak dikenal istilah mumayiz dan umur kedewasaan, ada yang menganggap sampai umur 18 tahun tapi ada juga hakim yang menganggap sampai berumur 21 tahun.

Tidak adanya amar putusan  dan  yurisprudensi yang melarang penggabungan gugatan Hak Asuh Anak dan Nafkah Anak dalam suatu kasus perceraian. Namun karena adanya asas dalam acara perdata asas hakim pasif dan asas ultra petita. sehingga apabila dalam petitum tidak dimohonkan oleh para pihak tentang hak asuh dan hak nafkah anak, maka hakim juga tidak bisa memberi amar putusannya dalam perceraian tersebut. 

Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Kristen tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:

  • Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:

  • Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
  • Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.

Prinsip Perceraian dalam Kristen dan Alasan Perceraian Kristen

Dalam Agama Kristen fenomena perceraian memang menjadi perdebatan abadi, namun demikian hukum nasional memberi jalan keluar jika memang perceraian tidak bisa dihindarkan. Namun demikian hukum nasional tidak bisa dipandang memudahkan perceraian, sebaliknya memerlukan syarat sedemikian rupa bahkan seolah-olah hukum menghalang-halangi perceraian itu sendiri dengan sedemikian banyak syarat dan perangkat proses tahapan yang harus dilalui.

Prinsip kelanggengan perkawinan tertuang dalam Matius 19:6, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh dipisahkan oleh manusia.”

Namun realitas perceraian juga diakui dalam kekristenan sebagaimana tertuang dalam Matius 19:9,”Tetapi aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain ia berbuat zinah.” Jadi jika ada perzinahan maka pasangan dapat meminta cerai.

Alkitab mencatat pula adanya surat cerai yang dibuat sejak umat Israel dipimpin oleh Musa yakni dengan cara suami menulis surat cerai lalu menyerahkan kepada istrinya, setelahnya sang istri dapat menikah lagi (Ulangan 24:1-4). Hal ini merupakan alasan sah bagi wanita manakala suaminya tidak bertanggungjawab dengan bukti surat cerai tadi. 

Zinah dalam kekristenan tidak bisa hanya dipahami sebagai hubungan seks dengan pihak yang bukan jadi pasangannya, tetapi juga mengikuti agama lain atau berpindah agama sebagaimana disampaikan dalam Kitab Keluaran 34:16 “Apabila engkau mengambil anak-anak peremupan mereka menjadi istri anak-anakmu dan anak-anak perempuan itu akan berzina dengan mengikuti allah mereka, maka mereka akan membujuk juga anak-anakmu laki-laki untuk berzina dengan mengikuti allah mereka.”

Yang dimaksud di atas adalah keluarga Kristen berhak mengajukan gugatan cerai jika pasangannya menyembah allah yang bukan Allah atau dengan kata lain berpindah agama. Karena keluarga Kristen berprinsip haruslah hidup dalam satu iman.

Selain itu alasan perceraian juga dapat dilakukan sebagaimana disampaikan Roma 7:2-3, “Sebab seorang istri terikat oleh hukum kepada suaminya selagi suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikat kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain.”

Dengan demikian gugatan cerai dapat disampaikan karena ternyata pasangan terikat dengan perkawinan lain atau pemberkatan lain. Hal ini pula dasar dari larangan poliandri dan poligami dalam Kristen.

Melihat penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian dalam Kristen merupakan sesuatu yang dilarang, namun larangan itu dikecualikan dengan alasan perceraian Kristen, yakni:

  1. Terjadi perselingkuhan (Matius 19:9)
  2. Pasangan berpindah agama (Keluaran 34:16)
  3. Pasangan terikat pada perkawinan lain (Roma 7:2-3)
  4. Pasangan tidak bertanggung jawab (Ulangan 24:1-4)

Demikian jelaslah prinsip larangan perceraian dan pengecualiannya karena terpenuhi alasan-alasan bercerai dalam Kristen.

Hak Asuh Anak dalam Perceraian Kristen

Perlu dipahami sebelum membahas hak asuh, prinsip-prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama seperti sebelum perkawinan orang tuanya berakhir. Prinsip ini disampaikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Demikian pula disampaikan dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan dengan tegas dapat disimpulkan walaupun perkawinan orang tua sudah berakhir kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya terus berlaku sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.

Hak asuh anak dapat diperoleh melalui putusan pengadilan. Walaupun sudah terjadi kesepakatan diantara orang tua maka tetap penting hak asuh anak diputuskan melalui pengadilan. Dalam praktek jika hak asuh anak tidak diputuskan melalui pengadilan akan terdapat kesulitan dalam penegakan hukum terkait hak-hak anak termasuk beberapa kepengurusan administrasi anak seperti pengurusan Kartu Keluarga, Passport dan dalam beberapa kasus dalam administrasi sekolah. 

Hak asuh anak dibawah umur biasanya jatuh pada ibunya sebagaimana telah diputuskan dalam berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung.  Selain pada ibunya, maka ayah kandung dapat memperoleh hak asuh. Hal tersebut disebutkan dalam SEMA No 1 Tahun 2017 yang menyatakan:

Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perseraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan / keinginan si anak pada saat proses perceraian.

Isu terkait hak asuh anak ini sangat sensitif dan bisa menjadi masalah yang tidak selesai dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan peran Advokat yang bukan saja profesional dan berpengalaman melainkan juga memiliki pemahaman dan itikad baik dalam memahami kepentingan anak. Banyak sekali orang tua termasuk advokat tidak memahami apa yang dimaksud hukum demi tumbuh berkembangnya anak. 

Harta Gono Gini dalam Perceraian Kristen

Harta gono gini atau harta bersama menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan. Dikecualikan atas harta bersama ini adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah (hibah) atau warisan.

Dalam Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan maka harta perkawinan dibagi menjadi 3 (tiga) yakni:

  1. Harta Bawaan, yakni harta yang diperoleh sebelum perkawinan.
  2. Harta Warisan atau Hadiah.
  3. Harta Gono Gini atau Harta bersama.

Maka harta yang harus dibagi setelah perceraian itu adalah Harta Gono Gini, untuk itu yang berwenang membaginya adalah hakim melalui putusan pengadilan negeri bagi perkawinan yang tunduk pada Agama Kristen.

Penting sekali harta gono gini memiliki kedudukan yang jelas setelah perceraian karena jika tidak jelas akan sangat menyulitkan bagi masing-masing pihak. Dalam pengalaman akan sulit melakukan penguasaan yang sah dan sederhana. Masing-masing pihak juga akan kesulitan secara administrasi untuk berhubungan dengan pihak lain baik untuk menjual, atau menjaminkan hartanya pada pihak bank. Pihak ketiga seperti pembeli dan perbankan akan memiliki kesulitan secara perdata dan hukum pertanahan terkait harta gono gini. Selain itu sering ditemukan masalah keperdataan harta gono gini ini berkembang menjadi masalah pidana terutama karena akhirnya salah satu pihak memenuhi unsuk pidana harta dalam perkawinan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.

Terkait masalah gono gini secara teknis persidangan akan memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu penting sekali untuk mempersiapkan sesuai dengan situasi yang berkembang. Untuk membantu Anda tidak bisa sembarangan pengacara dapat membantu Anda. Alih-alih Anda memperoleh harta gono gini malahan Anda kehilangan harta gono gini, hal ini sudah sangat sering terjadi dalam praktek. Pun ketika Anda memperoleh harta gono gini tapi Anda kehilangan banyak uang dan waktu lebih dari yang seharusnya hanya gara-gara kesalahan dan tidak efisiennya penanganan perkara. Dalam perkara harta gono gini seringkali Pengacara bertindak dengan tendesi kepentingannya sendiri.

Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Katolik tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:

  • Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
  • Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.

Prinsip Perceraian dalam Katolik dan Alasan Perceraian Katolik

Dalam Agama Katolik fenomena perceraian memang menjadi perdebatan abadi, namun demikian hukum nasional memberi jalan keluar jika memang perceraian tidak bisa dihindarkan. Perlu diingat dan dipahami hukum nasional tidak bisa dianggap memudahkan perceraian, sebaliknya memerlukan syarat sedemikian rupa bahkan seolah-olah hukum menghalang-halangi perceraian itu sendiri dengan sedemikian banyak syarat dan perangkat proses tahapan yang harus dilalui. Dan perlu dipahami bahwa perceraian Katolik hanyalah secara hukum sipil, ikatan perkawinan dianggap tetap sah dalam Kanonik Geraja Katolik.

Perkawinan Katolik memiliki dasar satu untuk selamanya yang tak terceraikan, bersifat monogami dan indissolubile.

  • Prinsip kelanggengan perkawinan tertuang dalam Matius 19:6, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh dipisahkan oleh manusia.”
  • Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan. Tidak dikenal prinsip poligami dan poliandri dalam Katolik.
  • Indissolubile adalah situasi setelah terjadinya perkawinan antara orang-orang yang dibaptis secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan tidak dapat dipisahkan kecuali oleh kematian.

Selanjutnya Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) menyatakan:

  • Kan. 1055 – § 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
  • Kan. 1141 – Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian.

Namun realitas perceraian tetap terjadi dan semakin meningkat dikalangan umat Katolik. Gereja sendiri banyak mengalami kendala dalam mencegah perceraian dikalangan umat Katolik. Sikap Gereja sendiri tetap tegas untuk anti terhadap perceraian dan tidak mau tunduk pada Lembaga perceraian.

Jemaat Katolik yang akhirnya melakukan perceraian sering melepaskan diri dari doktrin Katolik dengan mengacu pada Matius 19:9,”Tetapi aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain ia berbuat zinah.” Jadi jika ada perzinahan maka umat Katolik sering berbeda sikap dengan gerejanya.

Alkitab mencatat pula adanya surat cerai yang dibuat sejak umat Israel dipimpin oleh Musa yakni dengan cara suami menulis surat cerai lalu menyerahkan kepada istrinya, setelahnya sang istri dapat menikah lagi (Ulangan 24:1-4). Hal ini merupakan alasan sah bagi wanita manakala suaminya tidak bertanggungjawab dengan bukti surat cerai tadi. Jadi umat Katolik merasa jika pasangan tidak bertanggungjawab dapat dilakukan perceraian.

Selain itu umat Katolik melandaskan diri perceraian dapat dilakukan manakala pasangan mengikuti agama lain atau berpindah agama sebagaimana disampaikan dalam Kitab Keluaran 34:16 “Apabila engkau mengambil anak-anak peremupan mereka menjadi istri anak-anakmu dan anak-anak perempuan itu akan berzina dengan mengikuti allah mereka, maka mereka akan membujuk juga anak-anakmu laki-laki untuk berzina dengan mengikuti allah mereka.”

Yang dimaksud di atas adalah umat Katolik sering merasa berbeda sikap dengan sikap resmi gereja dengan mengajukan gugatan cerai karena pasangannya menyembah allah yang bukan Allah atau dengan kata lain berpindah agama. Alasannya keluarga Katolik berprinsip haruslah hidup dalam satu iman.

Selain itu alasan perceraian juga dapat dilakukan sebagaimana disampaikan Roma 7:2-3, “Sebab seorang istri terikat oleh hukum kepada suaminya selagi suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikat kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain.”

Ketika ternyata pasangan terikat dengan perkawinan lain atau pemberkatan lain maka umat Katolik merasa dapat keluar dari sikap resmi gereja. Dan hal ini sebenarnya dasar dari larangan poliandri dan poligami dalam Katolik.

Melihat penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian dalam Katolik merupakan sesuatu yang dilarang, namun umat sering keluar dari sikap resmi gereja biasanya karena alasan perceraian Katolik, yakni:

  • Terjadi perselingkuhan (Matius 19:9)
  • Pasangan berpindah agama (Keluaran 34:16)
  • Pasangan terikat pada perkawinan lain (Roma 7:2-3)
  • Pasangan tidak bertanggung jawab (Ulangan 24:1-4)

Hak Asuh Anak dalam Perceraian Katolik

Perlu dipahami sebelum membahas hak asuh, prinsip-prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama seperti sebelum perkawinan orang tuanya berakhir. Prinsip ini disampaikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Demikian pula disampaikan dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan dengan tegas dapat disimpulkan walaupun perkawinan orang tua sudah berakhir kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya terus berlaku sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.

Hak asuh anak dapat diperoleh melalui putusan pengadilan. Walaupun sudah terjadi kesepakatan diantara orang tua maka tetap penting hak asuh anak diputuskan melalui pengadilan. Dalam praktek jika hak asuh anak tidak diputuskan melalui pengadilan akan terdapat kesulitan dalam penegakan hukum terkait hak-hak anak termasuk beberapa kepengurusan administrasi anak seperti pengurusan Kartu Keluarga, Passport dan dalam beberapa kasus dalam administrasi sekolah.

Hak asuh anak dibawah umur biasanya jatuh pada ibunya sebagaimana telah diputuskan dalam berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung. Selain pada ibunya, maka ayah kandung dapat memperoleh hak asuh. Hal tersebut disebutkan dalam SEMA No 1 Tahun 2017 yang menyatakan:

Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perseraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan / keinginan si anak pada saat proses perceraian.

Isu terkait hak asuh anak ini sangat sensitif dan bisa menjadi masalah yang tidak selesai dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan peran Advokat yang bukan saja profesional dan berpengalaman melainkan juga memiliki pemahaman dan itikad baik dalam memahami kepentingan anak. Banyak sekali orang tua termasuk advokat tidak memahami apa yang dimaksud hukum demi tumbuh berkembangnya anak.

Harta Gono Gini dalam Perceraian Katolik

Harta gono gini atau harta bersama menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan. Dikecualikan atas harta bersama ini adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah (hibah) atau warisan.

Dalam Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan maka harta perkawinan dibagi menjadi 3 (tiga) yakni:

  • Harta Bawaan, yakni harta yang diperoleh sebelum perkawinan.
  • Harta Warisan atau Hadiah.
  • Harta Gono Gini atau Harta bersama.

Maka harta yang harus dibagi setelah perceraian itu adalah Harta Gono Gini, untuk itu yang berwenang membaginya adalah hakim melalui putusan pengadilan negeri bagi perkawinan yang tunduk pada Agama Katolik.

Penting sekali harta gono gini memiliki kedudukan yang jelas setelah perceraian karena jika tidak jelas akan sangat menyulitkan bagi masing-masing pihak. Dalam pengalaman akan sulit melakukan penguasaan yang sah dan sederhana. Masing-masing pihak juga akan kesulitan secara administrasi untuk berhubungan dengan pihak lain baik untuk menjual, atau menjaminkan hartanya pada pihak bank. Pihak ketiga seperti pembeli dan perbankan akan memiliki kesulitan secara perdata dan hukum pertanahan terkait harta gono gini. Selain itu sering ditemukan masalah keperdataan harta gono gini ini berkembang menjadi masalah pidana terutama karena akhirnya salah satu pihak memenuhi unsuk pidana harta dalam perkawinan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.

Terkait masalah gono gini secara teknis persidangan akan memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu penting sekali untuk mempersiapkan sesuai dengan situasi yang berkembang. Untuk membantu Anda tidak bisa sembarangan pengacara dapat membantu Anda. Alih-alih Anda memperoleh harta gono gini malahan Anda kehilangan harta gono gini, hal ini sudah sangat sering terjadi dalam praktek. Pun ketika Anda memperoleh harta gono gini tapi Anda kehilangan banyak uang dan waktu lebih dari yang seharusnya hanya gara-gara kesalahan dan tidak efisiennya penanganan perkara. Dalam perkara harta gono gini seringkali Pengacara bertindak dengan tendesi kepentingannya sendiri.

Oleh Ivan Garda (Advokat pada Garda Law Office)

Pertama kali kasus Wabah Covid 19 dicatat dan dilaporkan sebagai penyakit pada tanggal 31 Desember 2019 di Kota Wuhan China, maka sejak itu penyakit tersebut berkembang pesat. Episentrum berkembang merata di Asia, Eropa dan Amerika.  Beberapa bulan kemudian tepatnya Tanggal 2 Maret 2020 kasus virus covid 19 dilaporkan di Indonesia.

Sesungguhnya tidak ada yang siap dengan mewabahnya penyakit dengan jenis baru ini. Jangankan masyarakat awan, otoritas Kesehatan resmi ditingkat dunia seperti WHO, kemudian otoritas Kesehatan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, bahkan China tidak dalam posisi siap terhadap penyakit ini. Berbagai kebijakan pemerintah hanya bersifat darurat untuk menahan sebaran, merawat dan mengobati masyarakatnya dari penyakit ini.

Untuk pertama kalinya dunia secara global mengalami krisis Kesehatan yang kemudian sangat berpengaruh ke berbagai bentuk krisis salah satu terutama krisis ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi terkontraksi minus 4,19%. Krisis Kesehatan dan Ekonomi sangat berpengaruh terhadap kondisi masyarakat, dan tentu pada kehidupan keluarga dan personalnya.

Krisis Kesehatan yang langsung disusul krisis ekonomi melahirkan multi krisis dan menjangkau setiap orang secara personal termasuk lingkungan terdekatnya yaitu keluarga. Para Ahli Psikologi mengungkapkan resiko Kesehatan mental yang akan terjadi pada masyarakat, termasuk strategi massif menimalkan penyebaran virus seperti karantina, social distance, informasi intens dan lain sebagainya, dapat menyebabkan meningkat dan mewabahnya stress, depresi, paranoid, insomnia, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan lain sebagainya. Bahkan sangat memungkinkan Kesehatan mental berusia lebih panjang dari wabah covid 19 itu sendiri. “Secara historis dampak buruk bencana pada Kesehatan mental mempengaruhi lebih banyak orang, dan bertahan lebih lama daripada dampak Kesehatan,” pendapat Joshua C Morganstein, asisten direktur Pusat Stress Traumatis di Maryland, AS.

Krisis terhadap keluarga dan masing-masing anggota keluarganya terus semakin mendalam, sementara ketidakpastian penanganan masalah keluarga masih belum menjadi perhatian baik khsus ataupun umum. Maka pecahnya Lembaga keluarga melalui perceraian menjadi fenomena yang meningkat.

Terdapat data terutama di Pulau Jawa dimana angka perceraian dimasa pandemi meningkat tajam di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Triastanto, 2020). Tercatat penyebab banyaknya perceraian berasal dari masalah perselisihan yang berlarut-larut dan faktor ekonomi. Perceraian tercatat meningkat dihampir semua kalangan, dan terdapat data menarik yang dimuat Republika.co.id pada Tanggal 14 April 2020 bahwa dikalangan ASN Jawa Timur didominasi sekitar 75% oleh kalangan Pendidik. 

Kalangan sosiolog mencatat konflik rumah tangga meningkat karena terjadinya permasalahan ekonomi, ketidakseimbangan emosional, krisis kebersamaan, kekerasan rumah tangga, ketidakseimbangan aktivitas, pola komunikasi yang semakin negatif dan pengaruh pihak ketiga. George Levinger (Moh. Mahfud. 2006:203) mengategorikan 12 keluhan yang menyebabkan terjadinya perceraian:

  1. Karena pasangan sering mengabaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak;
  2. Masalah keuangan dimana penghasilan tidak mencukupi kebutuhan keluarga dan rumah tangga.
  3. Kekerasan fisik.
  4. Pasangan sering berteriak atau mengeluarkan kata-kata kasar yang menyakitkan.
  5. Tidak setia.
  6. Ketidakcocokan dalam hubungan seksual.
  7. Sering Mabuk.
  8. Adanya keterlibatan  atau campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangan.
  9. Sering muncul kecurigaan, kecemburuan dan ketidakcocokan dengan pasangan.
  10. Berkurangnya perasaan cinta, sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian dan kebersamaan diantara pasangan.
  11. Adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan  sehingga pasangannya menjadi tidak sabar, tidak toleran dan terlalu menguasai.
  12. Hal lain yang tidak termasuk kategori di atas.

Untuk suami keluhan proporsi suami George Levinger mencatat yang terbanyak adalah adanya campur tangan dan tekanan dari kerabat istri serta masalah ketidakcocokan dalam hubungan seksual. Sedangkan proporsi keluhan istri adalah suami sering melalaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak, kekerasan fisik dan masalah keuangan.

Pendapat-pendapat tentang di atas terjadi dalam pengalaman praktik hukum kami ketika mendampingi klien. Tentu menjadi tantangan tersendiri karena alasan-alasan yang terjadi berbeda dengan pengalaman kasus-kasus perceraian sebelum krisis multi dimensi akibat pengaruh pandemi Covid 19 terjadi. 

Sementara secara hukum, alasan-alasan perceraian dibatasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PP No. 6 Tahun 1975, yakni:

  • Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  • Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  • Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 

Kami sendiri berpendapat, bahwa segala permasalah akibat covid 19 yang terjadi pada keluarga hendaknya ditangani dengan situasi adaptif sehingga keutuhan keluarga dapat dipertahankan. Namun manakala segala pendekatan untuk mempertahankan keluarga tidak tercapai maka resiko perceraian menjadi keterpaksaan yang harus ditempuh.

Dalam keterpaksaan ini perceraian harus ditangani secara bijak dan berkualitas. Karena bagaimana pun perkawinan adalah Lembaga sakral dan penting buat setiap orang, manakala harus terjadi perceraian maka tidak bisa dilakukan secara sembrono sehingga berdampak negatif lebih besar dan panjang lagi. Perceraian itu sendiri sedemikian diatur oleh agama dan negara, dengan maksud dan tujuan agar perceraian beserta dampak-dampaknya bisa tertangani dengan baik. Campur tangan agama dan negara terhadap perceraian memberi panduan ketika perkawinan berakhir maka kewajiban-kewajiban dan hak-hak dari masing-masing pihak dapat ditegakkan. Hak dan kewajiban itu tentu terkait langsung dengan hubungan masing-masing pihak juga terutamanya terhadap anak serta harta.

Proses perceraian yang memperhatikan situasi hukum dan advokasi yang bijak diharapkan menghasilkan putusan hukum yang berkualitas yang dapat mengurangi efek negatif yang dapat menjadi beban jangka panjang. Beban ini akan berpengaruh banyak pada para pihak, anak dan harta.  Oleh karena itu dibutuhkan penanganan hukum yang bukan saja memahami peraturan secara menyeluruh dan komprehensif tetapi juga pengacara perceraian  atau advokat perceraian yang bijak dan menjungjung tinggi itikad baik.

Terlalu banyak korban-korban perceraian mengalami trauma berkepanjangan baik trauma pada bekas pasangan dan juga pada anak-anak. Krisis perceraian berkelanjutan menjadi beban dramatis dan luar biasa mempengaruhi kehidupan masing-masing pasangan dan anak-anak. Padahal krisis itu sebenarnya bisa dicegah atau setidak-tidaknya dikurangi oleh kelompok profesional hukum asalkan memiliki pengetahuan hukum yang komprehensif, bijak terhadap situasi yang berkembang serta beritikad baik. Kami melihat krisis akibat perceaian yang berkelanjutan itu sangat terkait dengan cara penanganan perceraian yang seringkali sembrono dari sisi hukum dan jauh dari aspek-aspek situasional, norma-norma dan etika terutama pihak pengacara perceraian sebagai bagian dari penegak hukum keluarga.

Selain akibat-akibat pandemi covid 19 yang berpangaruh terhadap perceraian serta penanganan perceraian oleh pengacaranya, dampak yang perlu diperhatikan terjadi juga pada prosedur di pengadilan. Lembaga pengadilan sebagai satu-satunya Lembaga yang sah untuk melakukan perceraian menjadi Lembaga yang terdampak langsung wabah covid 19. Hal ini berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi jalannya proses peradilan. Sampai tulisan ini dibuat kasus Covid 19 dilingkungan peradilan yang tercatat di Mahkamah Agung sampai dengan Bulan Juli 2021 adalah 36 orang meninggal, 390 dirawat, 2391 isolasi mandiri, dan 1098 dinyatakan sembuh.

Mahkamah Agung sendiri telah mengeluarkan Surat Edaran No. 8 Tahun 2020, Surat Edaran No. 9 Tahun 2020, lalu disusul dengan Surat Edaran No. 1 Tahun 2021 tentang Peningkatan Penerapan Protokol Kesehatan Pencegah Covid 19 yang mana salah satunya membatasi jumlah hakim dan aparatur pengadilan, termasuk pengurangan jam kerja di lingkungan pengadilan. Implikasi terasa pada tidak efesiennya waktu dan proses persidangan. Konsentrasi Hakim dan aparatur pengadilan juga nampak sangat terpengaruh. 

Kondisi-kondisi ini tentu membutuhkan penanganan hukum khusus dari para pengacara yang harus tetap berkomitmen pada kualitas pelayanan demi memperoleh putusan hukum yang berkualitas. Berbagai keterbatasan penegakan hukum disatu sisi, dan kompleksnya kondisi perceraian akibat covid 19 bukan berarti target kualitas hukum harus diturunkan. Sangat berbahaya jika berakhirnya perkawinan berdampak lebih panjang lagi pada masing-masing pihak dan anak-anak. Beban menjadi bertambah karena terdapat resiko psikologis, ekonomi sekaligus hukum justru melebihi wabah covid 19 itu sendiri.

Akhir dari sebuah hubungan pernikahan adalah perceraian. Kedua pasangan dapat meminta perceraian secara resmi hanya melalui mekanisme hukum ketika mereka tidak ingin melanjutkan pernikahan mereka. Pasangan yang bercerai perlu walaupun sering terlibat situasi emosional, sangat penting untuk berkepala dingin memutuskan hak asuh anak, berapa nafkah anak, dan bagaimana membagi aset mereka (rumah, mobil, perabotan dan kontrak) yang diperoleh selama pernikahan. Untuk memperoleh hal-hal tersebut maka yang paling penting adalah melalui Pengadilan, karena seringkali perjanjian saja tidak cukup apalagi jika tanpa perjanjian. Akan ada resiko dari sisi administrasi, perlindungan dan pemenuhan hak-haknya.

Definisi Perceraian

Salah satu resiko terburuk dari pernikahan adalah perceraian. Sebagaimana perkawinan maka perceraian memiliki konsekuensi hukum.  Oleh karena itu keduanya diatur dalam undang-undang perkawinan. Hukum Perkawinan Indonesia pada umumnya tunduk pada Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Basis hukum perkawinan adalah pada ketentuan agama masing-masing. Bagi orang Islam selanjutnya berlaku Kompilasi Hukum Islam yang kemudian hukum acaranya dilaksanakan pada Pengadilan Agama, sedangkan bagi Kristen, Katolik, Budha dan Hindu hukum acara mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang dilaksanakan pada Pengadilan Umum.

Menurut Budi Susilo dalam tulisannya Prosedur Perceraian, yang diterbitkan Perpustakaan Yustisia, Yogyakarta, 2007, perceraian hanya dapat terjadi jika dilakukan di depan pengadilan, apakah itu suami yang memohon perceraian (talaq), atau karena istri menuntut gugat cerai.  Walaupun dalam ajaran Islam, perceraian akan dianggap sah jika segera diucapkan oleh suami, tetapi prosesnya harus tetap dilakukan di pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari hukum atau perceraian. 

Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Dengan kata lain, harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk bercerai. Hal ini sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang secara kebetulan memiliki wewenang untuk memutuskan apakah perceraian layak atau tidak untuk dilakukan. Termasuk semua keputusan yang berkaitan dengan konsekuensi perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan perceraian. Misalnya tentang hak asuh anak, dan distribusi aset.

Perceraian diperbolehkan dalam pandangan agama maupun dalam ruang lingkup hukum positif. Namun perceraian adalah situasi khusus yang terjadi dalam hubungan suami istri. Oleh karenanya agama masih memberikan keleluasaan kepada setiap penganut Agama untuk menentukan rekonsiliasi atau cara terbaik bagi siapa saja yang memiliki masalah dalam hubungan rumah tangga, hingga akhirnya perceraian sebagai jalan terakhir terjadi. Hukum positif menganggap perceraian adalah kasus yang sah jika memenuhi unsur perceraian, termasuk karena permasalahan hingga menyebabkan perselisihan yang sulit menemukan jalan tengah, atau karena suami tidak mampu untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.

Prosedur perceraian secara garis besar dibagi menjadi 2 (dua) jenis, tergantung pada pihak mana yang mengajukan klaim gugatan. Pertama, gugatan cerai yang diajukan oleh istri (disebut cerai). Kemudian dalam mengajukan gugatan untuk litigasi, yang juga harus dipertimbangkan adalah pengadilan mana yang berwenang untuk menerima gugatan, untuk memeriksa lebih lanjut kasus perceraian yang diajukan, berdasarkan pada kompetensi absolutnya (pengadilan umum ataukah pengadilan agama).

 Secara garis besar, proses pengajuan perceraian dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya sebagai berikut: 

  1. Mengiirimkan petisi atau klaim cerai.
  2. Setelah permohonan diajukan, pengadilan tidak boleh lebih dari tiga puluh hari harus memanggil pasangan yang sudah menikah untuk meminta penjelasan karena alasan gugatan perceraian diajukan. Tetapi sebelum itu, pengadilan harus mencari jalan damai.
  3. Proses persidangan dimulai dari pengajuan gugatan hingga putusan.
  4. Tahap eksekusi.

Perceraian adalah berakhirnya suatu perkawinan atau terputusnya suatu hubungan rumah tangga yang terjadi apabila suami atau istri tidak memenuhi perannya masing-masing. Perceraian dapat diartikan sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami dan istri, yang mana kemudian suami istri hidup berpisah satu sama lain dan diakui secara hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Akibat dari hukum perceraian bukan hanya tentang persoalan berakhirnya hubungan suami istri ataupun pisah rumah tetapi ada beberapa aspek penting lain selain dari itu.

Faktor anak yang lahir dari perkawinan tentu menjadi sangat penting. Karena anak berada dalam situasi perkawinan orang tuanya telah berakhir. Namun demikian hukum sangat tegas menyatakan bahwa tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah berakhir.

Menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat putusnya hubungan pernikahan karena perceraian adalah sebagai berikut :

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
  2. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Akibat Hukum Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan

Perceraian memiliki konsekuensi hukum yang luas baik dalam Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian.

Akibat utama dari perceraian adalah mantan suami dan mantan istri pasca-perceraian diwajibkan hidup terpisah. 

Pemutusan hubungan pernikahan melalui lembaga perceraian mau tidak mau akan mengakibatkan tanggung jawab hukum antara suami dan istri yang diceraikan, dan bagi anak serta harta benda selama perkawinan sebagai akibat dari kedua perkawinan itu.

Akibat Terhadap Hubungan Suami-Istri

Meskipun diantara pasangan suami-istri telah mengadakan kontrak suci, tetapi ini tidak menutup kemungkinan bahwa pasangan itu akan memiliki perselisihan di rumah yang mengarah pada perceraian. Ketika hubungan perkawinan rusak, hubungan perkawinan terputus.

Istri tidak boleh kawin untuk jangka waktu 4 bulan, 10 hari atau 130 hari (Pasal 39 Ayat (1) huruf a). atau biasa disebut sebelum masa iddah itu habis atau berakhir, jika ditinggal suami karena suami meninggal.

Jika perkawinan bubar karena perceraian, waktu tunggu untuk yang datang bulan ditetapkan menjadi 3 kali sucian, dengan 90 hari dan bagi mereka yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari. Tercantum dalam huruf b Pasal 39 ayat (1). Jika seorang istri hamil, jangka waktu di mana seorang istri dapat kawin lagi adalah sampai dengan lahirnya anak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (huruf c Pasal 39(1)). Hal ini dilakukan untuk melihat apakah istri hamil. 

Seorang pria yang menceraikan istrinya dan mencoba untuk menikah lagi dengan wanita lain dapat segera menikah, sebab laki-laki tidak memiliki masa tunggu atau masa iddah.

  • Akibat Terhadap Anak

Menurut UU Perkawinan sebagaimana disebutkan di atas maka perceraian tidak mengakhiri kewajiban pasangan sebagai orang tua terhadap anak di bawah umur.

Suami yang menceraikan istrinya wajib membayar nafkah anak, yaitu nafkah untuk menghidupi anak dan pendidikan anak, berdasarkan status suami.

Kewajiban memberikan nafkah kepada anak harus berlanjut sampai anak itu menjadi baliq dan berakal dan memperoleh penghasilannya sendiri.

Wajib bagi mantan suami maupun mantan istri mengasuh dan mendidik anak berdasarkan kepentingan anak.

Suami dan istri secara bersama-sama bertanggung jawab atas semua biaya membesarkan dan mendidik anak. Jika suami tidak dapat, pengadilan dapat memutuskan bahwa ibu menanggung biaya anak.

  • Akibat Terhadap Harta Bersama

Akibat lain yang ditimbulkan yaitu terhadap harta bersama yang diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.

  • Akibat Terhadap Istri Atau Suami

Kemudian akibat terakhir yaitu terhadap nafkah, biaya seorang istri yang menceraikan suaminya tidak lagi menjadi bagian dari suaminya, dan terutama dalam kasus perceraian, istri yang paling bertanggung jawab. Namun, jika istri tidak bersalah, jumlah maksimum biaya hidup adalah sekitar 90 hari (90 hari).

Perceraian Dalam Ajaran Hindu

Pada dasarnya Agama Hindu menentang terjadinya perceraian, namun demikian berbagai situasi potensi berakhirnya perkawinan seringkali tidak bisa dihindarkan. Justru jika perkawinan dilanjutkan akan menambah dosa dari pasangan karena tidak ada harmoni untuk mencapai tujuan perkawinan yakni kebahagian lahir bathin.

Untuk menempuh perceraian terdapat beberapa cara umum yang bisa dilakukan:

  1. Menyampaikan permasalahan dengan banjar adat sesuai dengan awig-awig atau pararem setempat;
  2. Melakukan upacara Mapegat Sot dengan mengelilingi Bale Agung;
  3. Dilanjutkan dengan permohonan cerai pada pengadilan negeri y
  4. ang berwenang;
  5. Menyampaikan Salinan putusan cerai dan akte cerai kepada prajuru banjar atau desa prakaman.

Setelah perceraian kemungkinan untuk rujuk masih bisa dilaksanakan, dan jika hal tersebut terjadi maka harus ditempuh upacara perkawinan seperti semula. Setelah terjadi perceraian maka Pihak pradana kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara di keluarga asal.

Status Hak Asuh Anak dan Harta Gunakaya pada Perceraian Pasangan Hindu

Anak yang masih kecil karena pertimbangan tumbuh kembang anak dapat diasuh oleh ibu. Faktor psikologis anak harus sangat diperhatikan terutama dalam tumbuh kembangnya masih sangat tergantung dari pengasuhan ibu. Walau hak asuh anak terutama anak yang masih dibawah umur berada pada ibunya namun hubungan pasidikaran anak tersebut tetap pada keluarga purusa. Terkait biaya-biaya yang diperlukan oleh anak maka diperoleh melalui ayahnya sebagai pihak purusa.

Selanjutnya terkait harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan)  maka masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya dengan prinsip pedum pada (bagi sama rata). Dalam prakteknya prinsip ini harus melihat aspek-aspek administrasi agar tidak terjadi kesulitan dalam pengurusan harta masing-masing pihak, utama bisa dilakukan melalui kesepakatan pembagian harta atau agar lebih menjamin melalui putusan pengadilan. Hal ini perlu diperhatikan karena jika tidak tertib maka akan terjadi sengketa panjang terkait harta yang dipenuhi ketidakpastian atas aset perkawinan.

Perceraian Pasangan Hindu dalam Hukum Nasional Indonesia

Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Hindu tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:

  • Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:

  • Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
  • Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.

Perceraian Dalam Ajaran Budha

Alkisah sebagaimana disampaikan dalam Sutta pada masa Budha Gotama terjadi perceraian antara Ugga dengan istrinya. Ugga adalah seorang upasaka yang senang berderma dengan barang-barang yang bagus dan berkualitas. Ugga berkeyakinan siapa yang berderma dengan yang terbaik akan mendapat yang terbaik pula, sehingga ia tidak segan membeli barang bagus untuk didermakan.

Ugga memiliki empat istri, dimana pada saat itu bukan sesuatu yang janggal seorang lelaki dari berbagai kalangan berpolygami. Awalnya hidup rukun, namun setelah menemui pencerahan Buddha, kehidupan Ugga mulai berubah. Karena Ugga mencapai tataran Anagami, dengan tingkat kesucian yang telah berhasil menghancurkan dan membelenggu hawa nafsu. Sehingga keinginan syahwatnya lenyap sehingga jika dilanjutkan perkawinan akan membawa kesengsaraan kepada para istri.

Ugga kemudian mendatangi para istri lalu menyatakan tidak bisa hidup bersama lagi dan mengizinkan semuanya untuk menikah lagi. Satu per satu istrinya menikah, dengan kebaikan Ugga memberi modal untuk pernikahan istrinya dengan suami barunya, tentunya merupakan kebaikan untuk melihat mantan istrinya berbahagia walau harus dengan suami baru mereka.

Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa Budha mendukung perceraian, perceraian harus dipandang upaya terakhir setelah berbagai cara dilakukan untuk mempertahankan perkawinan. Dalam Sutta disampaikan cara untuk mempertahankan jodoh supaya awet, seperti yang dimuat dalam percakapan pasangan Nakulapita dan Nakulamata dengan Budha, diantaranya Budha menyampaikan:

“Perumah tangga, jika suami dan istri ingin tidak terpisah selama kehidupan ini masih berlangsung dan di dalam kehidupan yang akan datang juga, harus memiliki keyakinan yang sama, moralitas yang sama, kedermawanan yang sama, kebijaksanaan yang sama, dengan demikian mereka tidak akan berpisah selama kehidupan ini masih berlangsung dan di dalam kehidupan mendatang juga.”

(Aguttara Nikāya V, 55)

Ada dharma dalam perkawinan, maka ada dharma juga dalam perceraian sebagaimana dicontoh Ugga yang menanamkan itu pada mantan istrinya. Hal ini tentu agar kiranya ketika terjadi perceraian maka karma tersebut dilanjutkan dengan kebaikan, sehingga mengubah karma menjadi kebaikan. Rasa sakit dalam perceraian adalah peluang untuk mempraktekkan apa yang diajarkan Budha,  bahwa rasa sakit adalah bagian yang tidak dapat dihindari dari dunia, dan penderitaan adalah reaksi yang tidak dapat dihindarkan. Penderitaan berhubungan dengan menolak kenyataan yang dihadapi, karena itu akan lebih baik untuk mengembalikan keseimbangan dengan membiarkan segala sesuatu berjalan dengan lebih baik untuk kita, pasangan dan anak-anak.

Perceraian bagian dari Anicca, yaitu kebenaran akan ketidakkekalan. Maka yakinlah bahwa semua pengalaman terus berubah, dan kita merupakan perbaikan-perbaikan. Penderitaan perceraian akan berubah karena prinsip Anicca tersebut. Perasaan menderita, sakit dan tidak nyaman akan berubah. 

Disinilah pentingnya Anicca itu dilakukan dengan baik, didalamnya termasuk memperbaiki tujuan perceraian bukan untuk memperpanjang penderitaan dan membalaskan pada pasangan apalagi anak, justru untuk memperbaiki situasi. Anicca yang bertanggungjawab ini diantaranya penting untuk mengikuti prosedur dan aturan hukum agar jelas pertanggungjawaban. Negara memiliki dharma dalam bentuk perangkat aturan hukum yang dibuat untuk melindungi warganya dalam berbagai situasi termasuk manakala terjadi perceraian.

Perceraian Pasangan Budha dalam Hukum Nasional Indonesia

Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Budha tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:

  • Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:

  • Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
  • Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.

Hak Asuh Anak dalam Perceraian Budha

Menjadi mahfum manakala terjadi perceraian maka pasangan berpisah, lantas anak ikut dengan siapa. Ajaran Budha tidak memberikan detail kepada siapa anak diberikan manakala terjadi perceraian. Namun yang penting adalah tetap tegaknya prinsip sebagaimana disampaikan dalam Sigalovada Sutta, Dīgha Nikāya yakni: orang tua mempunyai kewajiban mencegah anak berbuat jahat, menganjurkan anak berbuat baik, memberikan Pendidikan yang sesuai kepada anak, mencarikan pasangan yang sesuai dengan anak, menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat. Prinsip ini harus ditegakkan karena jangan sampai anak menjadi korban yang berkelanjutan dari perceraian, setelah anak harus menerima kenyataan orang tuanya bercerai, maka kemudian anak tidak terurus bahkan kehilangan kasih sayang dan kebajikan dari kedua orang tua atau salah satu orang tuanya.

Demikian pula hukum negara kita mengatur dimana prinsip-prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama seperti sebelum perkawinan orang tuanya berakhir. Prinsip ini disampaikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Demikian pula disampaikan dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan dengan tegas dapat disimpulkan walaupun perkawinan orang tua sudah berakhir kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya terus berlaku sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.

Hak asuh anak dapat diperoleh melalui putusan pengadilan. Walaupun sudah terjadi kesepakatan diantara orang tua maka tetap penting hak asuh anak diputuskan melalui pengadilan. Dalam praktek jika hak asuh anak tidak diputuskan melalui pengadilan akan terdapat kesulitan dalam penegakan hukum terkait hak-hak anak termasuk beberapa kepengurusan administrasi anak seperti pengurusan Kartu Keluarga, Passport dan dalam beberapa kasus dalam administrasi sekolah. 

Hak asuh anak dibawah umur biasanya jatuh pada ibunya sebagaimana telah diputuskan dalam berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung.  Selain pada ibunya, maka ayah kandung dapat memperoleh hak asuh. Hal tersebut disebutkan dalam SEMA No 1 Tahun 2017 yang menyatakan:

Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perseraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan / keinginan si anak pada saat proses perceraian.

Perlu diperhatikan, karena situasi ini sering sekali diabaikan termasuk oleh para advokat yang harusnya mengerti, bahwa hak asuh tidak menghalangi sedikit pun hak dan kewajiban pasangan yang tidak mendapatkan hak asuh untuk terus menjalankan kewajibannya dan haknya terhadap anak. Butuh kematangan yang luar biasa dari kedua orang tua yang sudah terpisah, karena praktek hak asuh ini seringkali menghalangi prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama walaupun perkawinan sudah berakhir. Dalam praktik seringkali anak dijadikan alat untuk menyakiti mantan pasangan dengan cara mantan pasangannya tersebut dibatasi bahkan dilarang bertemu dengan anaknya yang dicintainya. Secara psikologis situasi itu juga mengorbankan lansung Kesehatan mental anak. Sering dalam praktek kami harus menyarankan kebesaran jiwa orang tua demi mental anak.

Isu terkait hak asuh anak ini sangat sensitif dan bisa menjadi masalah yang tidak selesai dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan peran Advokat yang bukan saja profesional dan berpengalaman melainkan juga memiliki pemahaman dan itikad baik dalam memahami kepentingan anak. Banyak sekali orang tua termasuk advokat tidak memahami apa yang dimaksud hukum demi tumbuh berkembangnya anak. 

Harta Gono Gini dalam Perceraian Budha

Agama Budha tidak mengatur tentang harta gono gini, tapi mengajarkan kebaikan dan tanggung jawab sebagaimana dicontohkan Ugga sebagaimana diceritakan dalam Sutta. Harta gono gini atau harta bersama menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan. Dikecualikan atas harta bersama ini adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah (hibah) atau warisan.

Dalam Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan maka harta perkawinan dibagi menjadi 3 (tiga) yakni:

  1. Harta Bawaan, yakni harta yang diperoleh sebelum perkawinan.
  2. Harta Warisan atau Hadiah.
  3. Harta Gono Gini atau Harta bersama.

Maka harta yang harus dibagi setelah perceraian itu adalah Harta Gono Gini, untuk itu yang berwenang membaginya adalah hakim melalui putusan pengadilan negeri bagi perkawinan yang tunduk pada Agama Budha.

Penting sekali harta gono gini memiliki kedudukan yang jelas setelah perceraian karena jika tidak jelas akan sangat menyulitkan bagi masing-masing pihak. Dalam pengalaman akan sulit melakukan penguasaan yang sah dan sederhana. Masing-masing pihak juga akan kesulitan secara administrasi untuk berhubungan dengan pihak lain baik untuk menjual, atau menjaminkan hartanya pada pihak bank. Pihak ketiga seperti pembeli dan perbankan akan memiliki kesulitan secara perdata dan hukum pertanahan terkait harta gono gini. Selain itu sering ditemukan masalah keperdataan harta gono gini ini berkembang menjadi masalah pidana terutama karena akhirnya salah satu pihak memenuhi unsuk pidana harta dalam perkawinan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.

Terkait masalah gono gini secara teknis persidangan akan memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu penting sekali untuk mempersiapkan sesuai dengan situasi yang berkembang. Untuk membantu Anda tidak bisa sembarangan pengacara dapat membantu Anda. Alih-alih Anda memperoleh harta gono gini malahan Anda kehilangan harta gono gini, hal ini sudah sangat sering terjadi dalam praktek. Pun ketika Anda memperoleh harta gono gini tapi Anda kehilangan banyak uang dan waktu lebih dari yang seharusnya hanya gara-gara kesalahan dan tidak efisiennya penanganan perkara. Dalam perkara harta gono gini seringkali Pengacara bertindak dengan tendesi kepentingannya sendiri.

Pengertian Perceraian

Pengertian Perceraian sendiri dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) secara jelas ditegaskan dalam Pasal 117 yang menyebutkan bahwa perceraian adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Berdasarkan uraian tersebutdapatlah diperoleh pemahaman bahwa perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami – istri yang sah dengan menggunakan lafadz talak atau semisalnya.

Secara umum, ketentuan perceraian diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan, pada Pasal 38 misalnya, disebutkan bahwa perkawinan dapat putus oleh tiga hal, yaitu kematian, perceraian, dan atau Putusan Pengadilan. Adapun jika pihak suami atau istri ingin menggugat perceraian, maka berdasarkan Pasal 40 UU Perkawinan, menegaskan bahwa Penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan. Sebab, perceraian dapat dikatakan sah jika sudah diputuskan oleh Pengadilan. Itu pun jika memang Pengadilan sudah berusaha mendamaikan kedua belah pihak namun hasilnya nihil. Hal ini berdasarkan UUP Pasal 39 ayat (1) yang berbunyi:

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa ketentuan di atas berlaku untuk umum. Artinya berlaku bagi semua golongan yang ingin melakukan gugatan cerai. Namun, khusus umat Islam, sejak adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dituangkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 01 Tahun 1991, maka mereka harus mengikuti ketentuan yang diatur di dalamnya, termasuk mengenai persoalan perceraian.

Gugat Cerai dan Cerai Talak

Selain itu, ada ketentuan lain yang diatur di dalam KHI, namun tidak ada di UU Perkawinan, yaitu tentang gugatan dan permohonan cerai. Apa yang membedakan keduanya?

Hal pertama yang membedakannya adalah pihak yang mengajukannya. 

Gugatan cerai merupakan cara istri untuk mengajukan cerai terhadap suami melalui Pengadilan Agama dengan disebabkan berbagai faktor. Dalam Islam, aturan ini dengan istilah khulu’. Sebagaimana di dalam kitab al-Qamus al-Fiqh, yaitu permintaan istri terhadap suami untuk menceraikannya dengan syarat (istri tersebut) membayar tebusan. Namun, karena di Indonesia perceraian harus dilaporkan dan dilakukan di depan Pengadilan Agama, maka dalam konteks ini istri harus mengajukannya pada Pengadilan Agama. Sedangkan permohonan cerai talak adalah cara suami untuk mengajukan cerai terhadap Pengadilan Agama. Hal ini dalam Islam disebut dengan Talak.

Di dalam KHI, Talak didefinisikan sebagaimana tertera pada Pasal 117: “Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.”

Adapun cara perceraiannya, sebagaimana ditegaskan oleh KHI di Pasal 129, adalah dengan mengajukan permohonan cerai terhadap Pengadilan Agama, baik lisan maupun tertulis.

Selain pihak yang mengajukannya, perbedaan lain adalah tahap final dari kedua proses itu. 

Jika dalam gugatan cerai tahapan akhirnya adalah sidang putusan dari hakim, maka dalam permohonan cerai talak sidang putusan hakim bukan merupakan tahap final. Bila hakim menyetujui permohonan cerai talak, hakim akan memerintahkan suami datang lagi ke Pengadilan untuk sidang pembacaan ikrar talak.

Di sini letak perbedaannya. Dalam proses gugatan cerai tidak ada tahapan sidang pembacaan ikrar talak. Sedangkan dalam permohonan cerai talak ada sidang pembacaan ikrar talak. Maka, sudah jelas perbedaan antara gugatan dan permohonan cerai. Namun, selagi masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan, mempertahankan hubungan perkawinan tetap lebih baik. Sebab, meskipun hukum cerai merupakan suatu kebolehan, akan tetapi hal tersebut sangat dibenci Allah SWT.  Sebagaimana sabda Nabi yang artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Umar, dari Nabi Saw bersabda: hal halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.”

Bahwa gugatan cerai dapat diajukan baik oleh Suami kepada Isterinya maupun oleh Isteri kepada Suaminya. Gugatan yang diajukan suami kepada Isterinya disebut dengan Permohonan Cerai Talak, yang dalam membuat Gugatan/Permohonan, Suami berkedudukan menjadi Pemohon dan Isteri berkedudukan menjadi Termohon. Cara mengajukan gugatan cerai talak suami kepada isterinya adalah dengan mengajukan Permohonan/Gugatan Cerai Talak ke Pengadilan Agama yang meliputi tempat kediaman (bukan alamat KTP) pihak isterinya. Jika isterinya pergi meninggalkan rumah kediaman bersama, ataupun saat ini keberadaanya tidak diketahui, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama yang meliputi tempat kediaman Pemohon (Suami).

Adapun beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan bagi seorang suami yang ingin mengajukan gugatan/ permohonan cerai talak adalah sebagai berikut :

  • Isteri berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  • Isteri meninggalkan Suami selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin Suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;Isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  • Isteri melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan Suaminya;
  • Isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  • Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dalam mengajukan gugatan/permohonan cerai talak, pihak suami dapat juga mengajukan permohonan Hak Asuh atas Anak yang lahir selama masa perkawinan dengan isteirnya tersebut. Dalam Permohonan Hak Asuh atas anak akan berlaku ketentuan hukum sebagai berikut :

  • Anak yang belum mumaziz, akan cenderung diberikan kepada Isteri.
  • Anak yang sudah mumaziz akan diberi kebebasan oleh hakim untuk memilih antara kedua orangtuanya, apakah akan ikut bapaknya ataukah ibunya.

Terhadap gugatan/permohonan cerai talak biasanya Hakim Pengadilan Agama akan menjatuhkan juga Nafkah Idah dan Nafkah Mutah yang harus dibayar oleh Suami jika Permohonan Cerai Talak dikabulkan Hakim. Nafkah Idah dan Nafkah Mut’ah harus dibayar oleh Suami kepada Isterinya sebelum sidang Pengucapan Ikrar Talak dilakukan. Pengadilan Agama tidak akan menyelenggarakan Sidang Ikrar Talak, jika Nafah Idah dan Nafkah Mut’ah belum dibayar oleh suami kepada istrinya tersebut.

Hal yang tak dapat dihindarkan dalam perceraian adalah mengenai  hak asuh dan nafkah anak. Tak jarang kedua hal ini diperebutkan oleh kedua belah pihak. Namun pada hakikatnya hak asuh anak adalah kewajiban kedua orang tuanya karena anak memiliki hak untuk diasuh dan dirawat oleh kedua orang tuanya. Hal ini selaras dengan Pasal 14 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas undang – undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :

 Pasal 14 

  • Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
  • Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak: 
  • bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya; 
  • mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; 
  • memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan 
  • memperoleh Hak Anak lainnya. 

Berdasarkan hal tersebut kedua orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak – anaknya. Namun terlepas dari hal tersebut, hak Asuh dan Nafkah anak tetap bisa dimohonkan kepada Pengadilan setempat dengan asas kep-astian hukum.

PENGGABUNGAN HAK ASUH DAN NAFKAH ANAK DALAM GUGATAN CERAI

Istilah Cerai Gugat dan Cerai Talak pada prakteknya di Pengadilan Agama memiliki perbedaan yang signifikan, Cerai Gugat dilakukan oleh istri dan Cerai Talak diajukan oleh Suami. Pada dasarnya penggabungan Gugatan Hak Asuh Anak dan Nafkah Anak dapat digabungkan dalam Gugatan Cerai, hal ini selaras dengan Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989. Yang berbunyi : 

  • Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta Bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan Pasal tersebut, Hak Asuh dan Nafkah anak jelas dapat dikumulasikan dalam Gugatan Cerai. Namun pada umumnya Hak Asuh Anak dan Nafkah Anak sering dimohonkan oleh istri dalam Gugat Cerai, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan pihak suami atau pemohon pun dapat mengajukan hak asuh anaknya dalam Cerai Talak apabila Pihak istri terbukti lalai dalam mengasuh dan merawat anak dan atau telah memiliki pria lain.

Perihal Pemegang Kuasa Hak Asuh Anak/Hadhanah apabila anak belum berumur 12 tahun/mumayyiz adalah ibu kandungnya, namun apabila anak tersebut sudah berumur 12 tahun, maka anak dapat memilih siapa yang memegang hak asuh atas dirinya. Sementara di Pengadilan Negeri, tidak ada aturan yang jelas tentang siapa pemegang/kuasa hak asuh bagi anak yang belum dewasa, karena di Pengadilan Negeri tidak dikenal istilah mumayiz dan umur kedewasaan, ada yang menganggap sampai umur 18 tahun tapi ada juga hakim yang menganggap sampai berumur 21 tahun.

Tidak adanya amar putusan  dan  yurisprudensi yang melarang penggabungan gugatan Hak Asuh Anak dan Nafkah Anak dalam suatu kasus perceraian. Namun karena adanya asas dalam acara perdata asas hakim pasif dan asas ultra petita. sehingga apabila dalam petitum tidak dimohonkan oleh para pihak tentang hak asuh dan hak nafkah anak, maka hakim juga tidak bisa memberi amar putusannya dalam perceraian tersebut.