Oleh Ivan Garda (Advokat pada Garda Law Office)
Pertama kali kasus Wabah Covid 19 dicatat dan dilaporkan sebagai penyakit pada tanggal 31 Desember 2019 di Kota Wuhan China, maka sejak itu penyakit tersebut berkembang pesat. Episentrum berkembang merata di Asia, Eropa dan Amerika. Beberapa bulan kemudian tepatnya Tanggal 2 Maret 2020 kasus virus covid 19 dilaporkan di Indonesia.
Sesungguhnya tidak ada yang siap dengan mewabahnya penyakit dengan jenis baru ini. Jangankan masyarakat awan, otoritas Kesehatan resmi ditingkat dunia seperti WHO, kemudian otoritas Kesehatan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, bahkan China tidak dalam posisi siap terhadap penyakit ini. Berbagai kebijakan pemerintah hanya bersifat darurat untuk menahan sebaran, merawat dan mengobati masyarakatnya dari penyakit ini.
Untuk pertama kalinya dunia secara global mengalami krisis Kesehatan yang kemudian sangat berpengaruh ke berbagai bentuk krisis salah satu terutama krisis ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi terkontraksi minus 4,19%. Krisis Kesehatan dan Ekonomi sangat berpengaruh terhadap kondisi masyarakat, dan tentu pada kehidupan keluarga dan personalnya.
Krisis Kesehatan yang langsung disusul krisis ekonomi melahirkan multi krisis dan menjangkau setiap orang secara personal termasuk lingkungan terdekatnya yaitu keluarga. Para Ahli Psikologi mengungkapkan resiko Kesehatan mental yang akan terjadi pada masyarakat, termasuk strategi massif menimalkan penyebaran virus seperti karantina, social distance, informasi intens dan lain sebagainya, dapat menyebabkan meningkat dan mewabahnya stress, depresi, paranoid, insomnia, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan lain sebagainya. Bahkan sangat memungkinkan Kesehatan mental berusia lebih panjang dari wabah covid 19 itu sendiri. “Secara historis dampak buruk bencana pada Kesehatan mental mempengaruhi lebih banyak orang, dan bertahan lebih lama daripada dampak Kesehatan,” pendapat Joshua C Morganstein, asisten direktur Pusat Stress Traumatis di Maryland, AS.
Krisis terhadap keluarga dan masing-masing anggota keluarganya terus semakin mendalam, sementara ketidakpastian penanganan masalah keluarga masih belum menjadi perhatian baik khsus ataupun umum. Maka pecahnya Lembaga keluarga melalui perceraian menjadi fenomena yang meningkat.
Terdapat data terutama di Pulau Jawa dimana angka perceraian dimasa pandemi meningkat tajam di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Triastanto, 2020). Tercatat penyebab banyaknya perceraian berasal dari masalah perselisihan yang berlarut-larut dan faktor ekonomi. Perceraian tercatat meningkat dihampir semua kalangan, dan terdapat data menarik yang dimuat Republika.co.id pada Tanggal 14 April 2020 bahwa dikalangan ASN Jawa Timur didominasi sekitar 75% oleh kalangan Pendidik.
Kalangan sosiolog mencatat konflik rumah tangga meningkat karena terjadinya permasalahan ekonomi, ketidakseimbangan emosional, krisis kebersamaan, kekerasan rumah tangga, ketidakseimbangan aktivitas, pola komunikasi yang semakin negatif dan pengaruh pihak ketiga. George Levinger (Moh. Mahfud. 2006:203) mengategorikan 12 keluhan yang menyebabkan terjadinya perceraian:
- Karena pasangan sering mengabaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak;
- Masalah keuangan dimana penghasilan tidak mencukupi kebutuhan keluarga dan rumah tangga.
- Kekerasan fisik.
- Pasangan sering berteriak atau mengeluarkan kata-kata kasar yang menyakitkan.
- Tidak setia.
- Ketidakcocokan dalam hubungan seksual.
- Sering Mabuk.
- Adanya keterlibatan atau campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangan.
- Sering muncul kecurigaan, kecemburuan dan ketidakcocokan dengan pasangan.
- Berkurangnya perasaan cinta, sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian dan kebersamaan diantara pasangan.
- Adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannya menjadi tidak sabar, tidak toleran dan terlalu menguasai.
- Hal lain yang tidak termasuk kategori di atas.
Untuk suami keluhan proporsi suami George Levinger mencatat yang terbanyak adalah adanya campur tangan dan tekanan dari kerabat istri serta masalah ketidakcocokan dalam hubungan seksual. Sedangkan proporsi keluhan istri adalah suami sering melalaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak, kekerasan fisik dan masalah keuangan.
Pendapat-pendapat tentang di atas terjadi dalam pengalaman praktik hukum kami ketika mendampingi klien. Tentu menjadi tantangan tersendiri karena alasan-alasan yang terjadi berbeda dengan pengalaman kasus-kasus perceraian sebelum krisis multi dimensi akibat pengaruh pandemi Covid 19 terjadi.
Sementara secara hukum, alasan-alasan perceraian dibatasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PP No. 6 Tahun 1975, yakni:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
- Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Kami sendiri berpendapat, bahwa segala permasalah akibat covid 19 yang terjadi pada keluarga hendaknya ditangani dengan situasi adaptif sehingga keutuhan keluarga dapat dipertahankan. Namun manakala segala pendekatan untuk mempertahankan keluarga tidak tercapai maka resiko perceraian menjadi keterpaksaan yang harus ditempuh.
Dalam keterpaksaan ini perceraian harus ditangani secara bijak dan berkualitas. Karena bagaimana pun perkawinan adalah Lembaga sakral dan penting buat setiap orang, manakala harus terjadi perceraian maka tidak bisa dilakukan secara sembrono sehingga berdampak negatif lebih besar dan panjang lagi. Perceraian itu sendiri sedemikian diatur oleh agama dan negara, dengan maksud dan tujuan agar perceraian beserta dampak-dampaknya bisa tertangani dengan baik. Campur tangan agama dan negara terhadap perceraian memberi panduan ketika perkawinan berakhir maka kewajiban-kewajiban dan hak-hak dari masing-masing pihak dapat ditegakkan. Hak dan kewajiban itu tentu terkait langsung dengan hubungan masing-masing pihak juga terutamanya terhadap anak serta harta.
Proses perceraian yang memperhatikan situasi hukum dan advokasi yang bijak diharapkan menghasilkan putusan hukum yang berkualitas yang dapat mengurangi efek negatif yang dapat menjadi beban jangka panjang. Beban ini akan berpengaruh banyak pada para pihak, anak dan harta. Oleh karena itu dibutuhkan penanganan hukum yang bukan saja memahami peraturan secara menyeluruh dan komprehensif tetapi juga pengacara perceraian atau advokat perceraian yang bijak dan menjungjung tinggi itikad baik.
Terlalu banyak korban-korban perceraian mengalami trauma berkepanjangan baik trauma pada bekas pasangan dan juga pada anak-anak. Krisis perceraian berkelanjutan menjadi beban dramatis dan luar biasa mempengaruhi kehidupan masing-masing pasangan dan anak-anak. Padahal krisis itu sebenarnya bisa dicegah atau setidak-tidaknya dikurangi oleh kelompok profesional hukum asalkan memiliki pengetahuan hukum yang komprehensif, bijak terhadap situasi yang berkembang serta beritikad baik. Kami melihat krisis akibat perceaian yang berkelanjutan itu sangat terkait dengan cara penanganan perceraian yang seringkali sembrono dari sisi hukum dan jauh dari aspek-aspek situasional, norma-norma dan etika terutama pihak pengacara perceraian sebagai bagian dari penegak hukum keluarga.
Selain akibat-akibat pandemi covid 19 yang berpangaruh terhadap perceraian serta penanganan perceraian oleh pengacaranya, dampak yang perlu diperhatikan terjadi juga pada prosedur di pengadilan. Lembaga pengadilan sebagai satu-satunya Lembaga yang sah untuk melakukan perceraian menjadi Lembaga yang terdampak langsung wabah covid 19. Hal ini berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi jalannya proses peradilan. Sampai tulisan ini dibuat kasus Covid 19 dilingkungan peradilan yang tercatat di Mahkamah Agung sampai dengan Bulan Juli 2021 adalah 36 orang meninggal, 390 dirawat, 2391 isolasi mandiri, dan 1098 dinyatakan sembuh.
Mahkamah Agung sendiri telah mengeluarkan Surat Edaran No. 8 Tahun 2020, Surat Edaran No. 9 Tahun 2020, lalu disusul dengan Surat Edaran No. 1 Tahun 2021 tentang Peningkatan Penerapan Protokol Kesehatan Pencegah Covid 19 yang mana salah satunya membatasi jumlah hakim dan aparatur pengadilan, termasuk pengurangan jam kerja di lingkungan pengadilan. Implikasi terasa pada tidak efesiennya waktu dan proses persidangan. Konsentrasi Hakim dan aparatur pengadilan juga nampak sangat terpengaruh.
Kondisi-kondisi ini tentu membutuhkan penanganan hukum khusus dari para pengacara yang harus tetap berkomitmen pada kualitas pelayanan demi memperoleh putusan hukum yang berkualitas. Berbagai keterbatasan penegakan hukum disatu sisi, dan kompleksnya kondisi perceraian akibat covid 19 bukan berarti target kualitas hukum harus diturunkan. Sangat berbahaya jika berakhirnya perkawinan berdampak lebih panjang lagi pada masing-masing pihak dan anak-anak. Beban menjadi bertambah karena terdapat resiko psikologis, ekonomi sekaligus hukum justru melebihi wabah covid 19 itu sendiri.