,

Akibat Hukum Dari Perceraian

Perceraian adalah berakhirnya suatu perkawinan atau terputusnya suatu hubungan rumah tangga yang terjadi apabila suami atau istri tidak memenuhi perannya masing-masing. Perceraian dapat diartikan sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami dan istri, yang mana kemudian suami istri hidup berpisah satu sama lain dan diakui secara hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Akibat dari hukum perceraian bukan hanya tentang persoalan berakhirnya hubungan suami istri ataupun pisah rumah tetapi ada beberapa aspek penting lain selain dari itu.

Faktor anak yang lahir dari perkawinan tentu menjadi sangat penting. Karena anak berada dalam situasi perkawinan orang tuanya telah berakhir. Namun demikian hukum sangat tegas menyatakan bahwa tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah berakhir.

Menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat putusnya hubungan pernikahan karena perceraian adalah sebagai berikut :

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
  2. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Akibat Hukum Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan

Perceraian memiliki konsekuensi hukum yang luas baik dalam Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian.

Akibat utama dari perceraian adalah mantan suami dan mantan istri pasca-perceraian diwajibkan hidup terpisah. 

Pemutusan hubungan pernikahan melalui lembaga perceraian mau tidak mau akan mengakibatkan tanggung jawab hukum antara suami dan istri yang diceraikan, dan bagi anak serta harta benda selama perkawinan sebagai akibat dari kedua perkawinan itu.

Akibat Terhadap Hubungan Suami-Istri

Meskipun diantara pasangan suami-istri telah mengadakan kontrak suci, tetapi ini tidak menutup kemungkinan bahwa pasangan itu akan memiliki perselisihan di rumah yang mengarah pada perceraian. Ketika hubungan perkawinan rusak, hubungan perkawinan terputus.

Istri tidak boleh kawin untuk jangka waktu 4 bulan, 10 hari atau 130 hari (Pasal 39 Ayat (1) huruf a). atau biasa disebut sebelum masa iddah itu habis atau berakhir, jika ditinggal suami karena suami meninggal.

Jika perkawinan bubar karena perceraian, waktu tunggu untuk yang datang bulan ditetapkan menjadi 3 kali sucian, dengan 90 hari dan bagi mereka yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari. Tercantum dalam huruf b Pasal 39 ayat (1). Jika seorang istri hamil, jangka waktu di mana seorang istri dapat kawin lagi adalah sampai dengan lahirnya anak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (huruf c Pasal 39(1)). Hal ini dilakukan untuk melihat apakah istri hamil. 

Seorang pria yang menceraikan istrinya dan mencoba untuk menikah lagi dengan wanita lain dapat segera menikah, sebab laki-laki tidak memiliki masa tunggu atau masa iddah.

  • Akibat Terhadap Anak

Menurut UU Perkawinan sebagaimana disebutkan di atas maka perceraian tidak mengakhiri kewajiban pasangan sebagai orang tua terhadap anak di bawah umur.

Suami yang menceraikan istrinya wajib membayar nafkah anak, yaitu nafkah untuk menghidupi anak dan pendidikan anak, berdasarkan status suami.

Kewajiban memberikan nafkah kepada anak harus berlanjut sampai anak itu menjadi baliq dan berakal dan memperoleh penghasilannya sendiri.

Wajib bagi mantan suami maupun mantan istri mengasuh dan mendidik anak berdasarkan kepentingan anak.

Suami dan istri secara bersama-sama bertanggung jawab atas semua biaya membesarkan dan mendidik anak. Jika suami tidak dapat, pengadilan dapat memutuskan bahwa ibu menanggung biaya anak.

  • Akibat Terhadap Harta Bersama

Akibat lain yang ditimbulkan yaitu terhadap harta bersama yang diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.

  • Akibat Terhadap Istri Atau Suami

Kemudian akibat terakhir yaitu terhadap nafkah, biaya seorang istri yang menceraikan suaminya tidak lagi menjadi bagian dari suaminya, dan terutama dalam kasus perceraian, istri yang paling bertanggung jawab. Namun, jika istri tidak bersalah, jumlah maksimum biaya hidup adalah sekitar 90 hari (90 hari).