Definisi & Pengertian Perceraian
Akhir dari sebuah hubungan pernikahan adalah perceraian. Kedua pasangan dapat meminta perceraian secara resmi hanya melalui mekanisme hukum ketika mereka tidak ingin melanjutkan pernikahan mereka. Pasangan yang bercerai perlu walaupun sering terlibat situasi emosional, sangat penting untuk berkepala dingin memutuskan hak asuh anak, berapa nafkah anak, dan bagaimana membagi aset mereka (rumah, mobil, perabotan dan kontrak) yang diperoleh selama pernikahan. Untuk memperoleh hal-hal tersebut maka yang paling penting adalah melalui Pengadilan, karena seringkali perjanjian saja tidak cukup apalagi jika tanpa perjanjian. Akan ada resiko dari sisi administrasi, perlindungan dan pemenuhan hak-haknya.
Definisi Perceraian
Salah satu resiko terburuk dari pernikahan adalah perceraian. Sebagaimana perkawinan maka perceraian memiliki konsekuensi hukum. Oleh karena itu keduanya diatur dalam undang-undang perkawinan. Hukum Perkawinan Indonesia pada umumnya tunduk pada Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Basis hukum perkawinan adalah pada ketentuan agama masing-masing. Bagi orang Islam selanjutnya berlaku Kompilasi Hukum Islam yang kemudian hukum acaranya dilaksanakan pada Pengadilan Agama, sedangkan bagi Kristen, Katolik, Budha dan Hindu hukum acara mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang dilaksanakan pada Pengadilan Umum.
Menurut Budi Susilo dalam tulisannya Prosedur Perceraian, yang diterbitkan Perpustakaan Yustisia, Yogyakarta, 2007, perceraian hanya dapat terjadi jika dilakukan di depan pengadilan, apakah itu suami yang memohon perceraian (talaq), atau karena istri menuntut gugat cerai. Walaupun dalam ajaran Islam, perceraian akan dianggap sah jika segera diucapkan oleh suami, tetapi prosesnya harus tetap dilakukan di pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari hukum atau perceraian.
Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Dengan kata lain, harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk bercerai. Hal ini sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang secara kebetulan memiliki wewenang untuk memutuskan apakah perceraian layak atau tidak untuk dilakukan. Termasuk semua keputusan yang berkaitan dengan konsekuensi perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan perceraian. Misalnya tentang hak asuh anak, dan distribusi aset.
Perceraian diperbolehkan dalam pandangan agama maupun dalam ruang lingkup hukum positif. Namun perceraian adalah situasi khusus yang terjadi dalam hubungan suami istri. Oleh karenanya agama masih memberikan keleluasaan kepada setiap penganut Agama untuk menentukan rekonsiliasi atau cara terbaik bagi siapa saja yang memiliki masalah dalam hubungan rumah tangga, hingga akhirnya perceraian sebagai jalan terakhir terjadi. Hukum positif menganggap perceraian adalah kasus yang sah jika memenuhi unsur perceraian, termasuk karena permasalahan hingga menyebabkan perselisihan yang sulit menemukan jalan tengah, atau karena suami tidak mampu untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.
Prosedur perceraian secara garis besar dibagi menjadi 2 (dua) jenis, tergantung pada pihak mana yang mengajukan klaim gugatan. Pertama, gugatan cerai yang diajukan oleh istri (disebut cerai). Kemudian dalam mengajukan gugatan untuk litigasi, yang juga harus dipertimbangkan adalah pengadilan mana yang berwenang untuk menerima gugatan, untuk memeriksa lebih lanjut kasus perceraian yang diajukan, berdasarkan pada kompetensi absolutnya (pengadilan umum ataukah pengadilan agama).
Secara garis besar, proses pengajuan perceraian dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya sebagai berikut:
- Mengiirimkan petisi atau klaim cerai.
- Setelah permohonan diajukan, pengadilan tidak boleh lebih dari tiga puluh hari harus memanggil pasangan yang sudah menikah untuk meminta penjelasan karena alasan gugatan perceraian diajukan. Tetapi sebelum itu, pengadilan harus mencari jalan damai.
- Proses persidangan dimulai dari pengajuan gugatan hingga putusan.
- Tahap eksekusi.
