,

Perceraian Katolik Menurut Aturan Katolik dan Hukum Indonesia

Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Katolik tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:

  • Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
  • Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.

Prinsip Perceraian dalam Katolik dan Alasan Perceraian Katolik

Dalam Agama Katolik fenomena perceraian memang menjadi perdebatan abadi, namun demikian hukum nasional memberi jalan keluar jika memang perceraian tidak bisa dihindarkan. Perlu diingat dan dipahami hukum nasional tidak bisa dianggap memudahkan perceraian, sebaliknya memerlukan syarat sedemikian rupa bahkan seolah-olah hukum menghalang-halangi perceraian itu sendiri dengan sedemikian banyak syarat dan perangkat proses tahapan yang harus dilalui. Dan perlu dipahami bahwa perceraian Katolik hanyalah secara hukum sipil, ikatan perkawinan dianggap tetap sah dalam Kanonik Geraja Katolik.

Perkawinan Katolik memiliki dasar satu untuk selamanya yang tak terceraikan, bersifat monogami dan indissolubile.

  • Prinsip kelanggengan perkawinan tertuang dalam Matius 19:6, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh dipisahkan oleh manusia.”
  • Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan. Tidak dikenal prinsip poligami dan poliandri dalam Katolik.
  • Indissolubile adalah situasi setelah terjadinya perkawinan antara orang-orang yang dibaptis secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan tidak dapat dipisahkan kecuali oleh kematian.

Selanjutnya Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) menyatakan:

  • Kan. 1055 – § 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
  • Kan. 1141 – Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian.

Namun realitas perceraian tetap terjadi dan semakin meningkat dikalangan umat Katolik. Gereja sendiri banyak mengalami kendala dalam mencegah perceraian dikalangan umat Katolik. Sikap Gereja sendiri tetap tegas untuk anti terhadap perceraian dan tidak mau tunduk pada Lembaga perceraian.

Jemaat Katolik yang akhirnya melakukan perceraian sering melepaskan diri dari doktrin Katolik dengan mengacu pada Matius 19:9,”Tetapi aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain ia berbuat zinah.” Jadi jika ada perzinahan maka umat Katolik sering berbeda sikap dengan gerejanya.

Alkitab mencatat pula adanya surat cerai yang dibuat sejak umat Israel dipimpin oleh Musa yakni dengan cara suami menulis surat cerai lalu menyerahkan kepada istrinya, setelahnya sang istri dapat menikah lagi (Ulangan 24:1-4). Hal ini merupakan alasan sah bagi wanita manakala suaminya tidak bertanggungjawab dengan bukti surat cerai tadi. Jadi umat Katolik merasa jika pasangan tidak bertanggungjawab dapat dilakukan perceraian.

Selain itu umat Katolik melandaskan diri perceraian dapat dilakukan manakala pasangan mengikuti agama lain atau berpindah agama sebagaimana disampaikan dalam Kitab Keluaran 34:16 “Apabila engkau mengambil anak-anak peremupan mereka menjadi istri anak-anakmu dan anak-anak perempuan itu akan berzina dengan mengikuti allah mereka, maka mereka akan membujuk juga anak-anakmu laki-laki untuk berzina dengan mengikuti allah mereka.”

Yang dimaksud di atas adalah umat Katolik sering merasa berbeda sikap dengan sikap resmi gereja dengan mengajukan gugatan cerai karena pasangannya menyembah allah yang bukan Allah atau dengan kata lain berpindah agama. Alasannya keluarga Katolik berprinsip haruslah hidup dalam satu iman.

Selain itu alasan perceraian juga dapat dilakukan sebagaimana disampaikan Roma 7:2-3, “Sebab seorang istri terikat oleh hukum kepada suaminya selagi suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikat kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain.”

Ketika ternyata pasangan terikat dengan perkawinan lain atau pemberkatan lain maka umat Katolik merasa dapat keluar dari sikap resmi gereja. Dan hal ini sebenarnya dasar dari larangan poliandri dan poligami dalam Katolik.

Melihat penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian dalam Katolik merupakan sesuatu yang dilarang, namun umat sering keluar dari sikap resmi gereja biasanya karena alasan perceraian Katolik, yakni:

  • Terjadi perselingkuhan (Matius 19:9)
  • Pasangan berpindah agama (Keluaran 34:16)
  • Pasangan terikat pada perkawinan lain (Roma 7:2-3)
  • Pasangan tidak bertanggung jawab (Ulangan 24:1-4)

Hak Asuh Anak dalam Perceraian Katolik

Perlu dipahami sebelum membahas hak asuh, prinsip-prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama seperti sebelum perkawinan orang tuanya berakhir. Prinsip ini disampaikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Demikian pula disampaikan dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan dengan tegas dapat disimpulkan walaupun perkawinan orang tua sudah berakhir kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya terus berlaku sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.

Hak asuh anak dapat diperoleh melalui putusan pengadilan. Walaupun sudah terjadi kesepakatan diantara orang tua maka tetap penting hak asuh anak diputuskan melalui pengadilan. Dalam praktek jika hak asuh anak tidak diputuskan melalui pengadilan akan terdapat kesulitan dalam penegakan hukum terkait hak-hak anak termasuk beberapa kepengurusan administrasi anak seperti pengurusan Kartu Keluarga, Passport dan dalam beberapa kasus dalam administrasi sekolah.

Hak asuh anak dibawah umur biasanya jatuh pada ibunya sebagaimana telah diputuskan dalam berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung. Selain pada ibunya, maka ayah kandung dapat memperoleh hak asuh. Hal tersebut disebutkan dalam SEMA No 1 Tahun 2017 yang menyatakan:

Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perseraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan / keinginan si anak pada saat proses perceraian.

Isu terkait hak asuh anak ini sangat sensitif dan bisa menjadi masalah yang tidak selesai dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan peran Advokat yang bukan saja profesional dan berpengalaman melainkan juga memiliki pemahaman dan itikad baik dalam memahami kepentingan anak. Banyak sekali orang tua termasuk advokat tidak memahami apa yang dimaksud hukum demi tumbuh berkembangnya anak.

Harta Gono Gini dalam Perceraian Katolik

Harta gono gini atau harta bersama menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan. Dikecualikan atas harta bersama ini adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah (hibah) atau warisan.

Dalam Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan maka harta perkawinan dibagi menjadi 3 (tiga) yakni:

  • Harta Bawaan, yakni harta yang diperoleh sebelum perkawinan.
  • Harta Warisan atau Hadiah.
  • Harta Gono Gini atau Harta bersama.

Maka harta yang harus dibagi setelah perceraian itu adalah Harta Gono Gini, untuk itu yang berwenang membaginya adalah hakim melalui putusan pengadilan negeri bagi perkawinan yang tunduk pada Agama Katolik.

Penting sekali harta gono gini memiliki kedudukan yang jelas setelah perceraian karena jika tidak jelas akan sangat menyulitkan bagi masing-masing pihak. Dalam pengalaman akan sulit melakukan penguasaan yang sah dan sederhana. Masing-masing pihak juga akan kesulitan secara administrasi untuk berhubungan dengan pihak lain baik untuk menjual, atau menjaminkan hartanya pada pihak bank. Pihak ketiga seperti pembeli dan perbankan akan memiliki kesulitan secara perdata dan hukum pertanahan terkait harta gono gini. Selain itu sering ditemukan masalah keperdataan harta gono gini ini berkembang menjadi masalah pidana terutama karena akhirnya salah satu pihak memenuhi unsuk pidana harta dalam perkawinan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.

Terkait masalah gono gini secara teknis persidangan akan memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu penting sekali untuk mempersiapkan sesuai dengan situasi yang berkembang. Untuk membantu Anda tidak bisa sembarangan pengacara dapat membantu Anda. Alih-alih Anda memperoleh harta gono gini malahan Anda kehilangan harta gono gini, hal ini sudah sangat sering terjadi dalam praktek. Pun ketika Anda memperoleh harta gono gini tapi Anda kehilangan banyak uang dan waktu lebih dari yang seharusnya hanya gara-gara kesalahan dan tidak efisiennya penanganan perkara. Dalam perkara harta gono gini seringkali Pengacara bertindak dengan tendesi kepentingannya sendiri.